無常 * Anicca - 苦 * Dukkha - 無我 * Anatta



所有緣起法都是無常、苦和無我

觀無常

277

 一群比丘各自依佛陀給他們的觀想題目到林子裡去禪修,但是卻進步遲緩,他們便回去見佛陀,請佛陀給更適合他們的觀想題目。佛陀於是透過神通,明白這些比丘在迦葉佛時,曾修習無常觀,所以佛陀就告誡他們:「比丘,一切緣起法,都是無常(註)。」

備註: 一切因緣和合的事物,不論是有生命或無生命都遵守無常、苦和無我的永恆定律,沒有任何超自然的神祇可以改變或停止這永恆定律。眾生的所有問題和苦,都根源於我們執著於瞬間的感覺,及東西和一切事物的不確定性。我們的貪欲和無常之間的衝突,造成精神或肉體的痛苦。明白觀照這永恆定律的人,可以獲得內心的和平與滿足。


諸行皆苦

278

 一群比丘各自依佛陀給他們的觀想題目到林子裡去禪修,但是卻進步遲緩,他們便回去見佛陀,請佛陀給更適合他們的觀想題目。佛陀於是透過神通,明白這些比丘在過去迦葉佛時,曾修習苦觀,所以佛陀就告誡他們:「比丘!一切緣起法,都令人難以忍受、不完美,所以都是苦 。」


       諸法無我
279

 一群比丘各自得到佛陀給他們的觀想題目後,到林子裡去禪修,但是卻進步遲緩,他們便回去見佛陀,請佛陀給更適合他們的觀想題目。佛陀於是透過神通,明白這些比丘在過去迦葉佛時,曾修習無我觀,所以佛陀就告誡他們:「比丘!一切緣起法,都是無我,不受人左右。」

備註:所有緣起法都是無常、苦和無我。厭離它們的人可以證得涅槃。無我是佛陀的重要觀點。

     


Stories Relating to Anicca, Dukkha and Anatta

277-278-279

While residing at the Jetavana monastery, the Buddha uttered Verses (277), (278) and (279) of this book, with reference to three groups of five hundred bhikkhus each.

On Impermanence (Anicca)

Five hundred bhikkhus, after receiving their subject of meditation from the Buddha, went into the forest to practise meditation, but they made little progress. So, they returned to the Buddha to ask for another subject of meditation which would suit them better. On reflection, the Buddha found that those bhikkhus had, during the time of Kassapa Buddha, meditated on impermanence. So, he said, "Bhikkhus, all conditioned phenomena are subject to change and decay and are therefore impermanent."

Then the Buddha spoke in verse as follows:

Verse 277: "All conditioned phenomena are impermanent"; when one sees this with Insight-wisdom, one becomes weary of dukkha (i.e., the khandhas). This is the Path to Purity.
At the end of the discourse those five hundred bhikkhus attained arahatship.

On Dukkha

The story is the same as the story on Anicca. Here, the Buddha on reflection found that another group of five hundred bhikkhus had meditated on dukkha. So, he said, "Bhikkhus, all khandha aggregates are oppressive and unsatisfactory; thus all khandhas are dukkha."

Then the Buddha spoke in verse as follows:

Verse 278: "All conditioned phenomena are dukkha"; when one sees this with Insight-wisdom, one becomes weary of dukkha (i.e., the khandhas). This is the Path to Purity.
At the end of the discourse those five hundred bhikkhus attained arahatship.

On Insubstantiality or Non-Self (Anatta)

The story is the same as the stories on Anicca and Dukkha. Here, the Buddha on reflection found that still another group of five hundred bhikkhus had meditated on insubstantiality or non-self (anatta). So, he said, "Bhikkhus, all khandha aggregates are insubstantial; they are not subject to one's control."

Then the Buddha spoke in verse as follows:

Verse 279: "All phenomena (dhammas) are without Self"; when one sees this with Insight-wisdom, one becomes weary of dukkha (i.e., the khandhas). This is the Path to Purity.
At the end of the discourse all those five hundred bhikkhus attained arahatship.

Kisah Yang Berhubungan Dengan Anicca

277
Setelah menerima pelajaran meditasi dari Sang Buddha, lima ratus bhikkhu pergi ke sebuah hutan untuk berlatih meditasi. Tetapi mereka mengalami sedikit kemajuan, sehingga mereka kembali kepada Sang Buddha dan menanyakan pelajaran meditasi lainnya yang akan membuat mereka mencapai hasil yang lebih baik. Dalam benak hati-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa pada masa Buddha Kassapa, bhikkhu-bhikkhu itu bermeditasi dengan objek ketidakkekalan.

Kemudian Beliau berkata, “Para bhikkhu, semua keadaan yang berkondisi adalah subjek dari perubahan dan akan musnah, oleh karena itu tidaklah kekal.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 277 berikut :

Segala sesuatu yang berkondisi
tidak kekal adanya.
Apabila dengan kebijaksanaan
orang dapat melihat hal ini;
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan
yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Yang Berhubungan Dengan Dukkha

278
Kisahnya sama dengan kisah Anicca. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu yang lain bermeditasi dengan objek dukkha, sehingga Beliau berkata, “Para bhikkhu, segala perpaduan hidup adalah menderita dan tidak memuaskan, maka segala kelompok kehidupan (khandha) adalah dukkha.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 278 berikut :

Segala sesuatu yang berkondisi
adalah dukkha.
Apabila dengan kebijaksanaan
orang dapat melihat hal ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan
yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Yang Berhubungan Dengan Ketanpa-intian (Anatta)

279
Kisahnya sama dengan kisah Anicca dan kisah Dukkha. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat 500 bhikkhu lain lagi bermeditasi dengan obyek Anatta, sehingga Beliau berkata, “Para bhikkhu, segalanya perpaduan hidup adalah tanpa inti/substansi. Hal tersebut bukan subyek keakuan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 279 berikut :

Segala sesuatu yang berkondisi
adalah tanpa inti.
Apabila dengan kebijaksanaan
orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

---------

Notes :

Anicca, Dukkha, dan Anatta, dikenal sebagai hukum Tilakkhana (Tiga corak/karakteristik).

Di antara Tilakkhana (Tiga corak/karakteristik), anatta mungkin adalah yang paling susah dijelaskan dan dipahami. Kita sudah sangat terkondisi dengan konsep aku, milikku, perasaanku, dll yang terbentuk sebagai hasil kombinasi ‘kemelekatan terhadap pandangan salah tentang aku’ dan konsep yang diajarkan/ditanamkan kepada kita sejak kita kecil baik dari keluarga, pendidikan maupun lingkungan sosial.

Secara singkat, anatta seringkali diterjemahkan sebagai tanpa aku, tanpa inti, tanpa jiwa yang kekal, ‘lenyapnya’ aku, shunyata. Penggunaan definisi singkat bisa menimbulkan kesalahpahaman, kadang diartikan secara literal yang berkonotasi negatif bahwa secara individual kita tidak ada.

Anatta seharusnya dipahami dari serangkaian Tilakkhana, yaitu sabbe sankhara anicca, sabbe sankhara dukkha, dan sabbe dhammā anattā - segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi adalah tanpa inti yang abadi/kekal.

Di notes kisah sebelumnya, kita memahami bahwa manusia merupakan kumpulan khanda yang selalu berubah setiap saat, pikiran/perasaan/kesadaran/pencerapan yang timbul tenggelam, selalu berubah, tidak sama.
Jika semuanya selalu berubah silih berganti, bukankah itu hal yang tidak kekal dan tidak dapat disebut inti/jiwa/roh yang kekal? Mari kita stop sejenak, dan pikir, apa dan dimanakah jiwa kita itu? Di dalam hati/jantung, atau di otak, atau di jempol? J Seperti apa bentuknya? Tidak ada, dan kita tak tahu bentuknya. Mengapa? Karena memang tidak ada sesuatu benda seperti misalnya biji di tengah buah-buahan yang bisa kita sebut ‘jiwa’. Jiwa hanyalah istilah untuk memudahkan berkomunikasi.

Demikian pula dari sisi jasmani, penelitian ilmiah menyatakan tubuh manusia terbentuk dari 100 trilyun sel dan setiap detik, tubuh kita melalui proses kematian karena setiap 1 menit, ada jutaan sel yang mati dan diganti.

Orang sering salah mengerti akan konsep anatta, sehingga timbul pertanyaan : kalau tidak ada aku, lalu siapa yang lahir lagi? Siapa yang akan menerima buah karma?

Siapa yang lahir lagi? Dalam konteks kelahiran kembali, kesadaran yang berpindah atau arus kesadaran (samvattanika-viññana) adalah salah satu penyebab munculnya kelahiran baru. Perumpamaan yang dipakai adalah berpindahnya api dari satu lilin ke lilin yang lain. Jika api di lilin A sudah mau padam (misal karena lilinnya habis), lalu dekatkan sumbu lilin B ke api lilin A, maka lilin B akan menyala. Apakah api di lilin A sama atau tidak sama dengan api lilin B? Tidak sama, karena faktor udara, sumbu dan lilinnya pun tidak sama, tetapi merupakan kesinambungan dari lilin A. Jadi dibilang sama juga tidak, dibilang tidak sama juga tidak tepat.

Apakah kamu sama dengan kamu waktu masih SD dulu? Siapa yang belajar berhitung? Dan siapa yang sekarang sudah menuai hasil karena bisa berhitung? Bukankah tetap kamu juga? Semua sudah berubah, tubuh sudah berubah, cara pikir sudah berubah, tetapi secara umum ya tetap kamu juga yang bisa berhitung. Sama halnya dengan karma, ya kamu juga yang akan menerima buahnya.

Lalu, jika demikian, apakah saya saat ini sama dengan saya kemarin atau saya yang besok? Jawabannya adalah tidak, ‘aku’ saat ini bahkan tidak sama dengan ‘aku’ detik yang lalu karena kombinasi kumpulan khanda (maupun khanda itu sendiri) senantiasa berubah.

Jika demikian adanya, dimanakah inti yang kekal? Tidak ada inti yang kekal. Tetapi juga bukan nihilisme.

Ini adalah keunikan ajaran Sang Buddha. Agama lain mengajarkan konsep inti/jiwa yang kekal (yang akan menjalani hukuman di neraka abadi atau menikmati surga abadi) sebagai bagian integral dari doktrin ajaran. Inti yang kekal ini biasanya disebut jiwa, roh, dll yang kekal, yang sifatnya tidak berubah dan tidak terbatas oleh waktu (timeless soul, eternal inner core).

Tetapi Buddhisme menyatakan bahwa sabbe dhamma anatta : tiada inti/jiwa yang kekal.

Kemelekatan terhadap konsep ‘inti diri yang kekal’ adalah salah satu kategori kemelekatan yang dijelaskan dalam Paticca Samuppada (Paticca Samuppada Vibhanga Sutta). Sang Buddha mengajarkan bahwa pandangan salah tentang aku yang kekal menyebabkan adanya pikiran negatif ‘milik saya’, nafsu keinginan, kemelekatan, kebencian dan kekotoran batin yang lain.

Untuk menghindari kebingungan, perlu dipahami bahwa ada dua kategori ‘kebenaran/truth’: kebenaran berdasarkan konvensi, persetujuan atau pandangan umum (sammuti sacca) dan kebenaran yang tertinggi/sesungguhnya berdasarkan realitas (paramattha sacca).

Di tataran ‘konvensi/pemahaman umum’, untuk memudahkan berkomunikasi, kita menyebut ‘aku’, ‘saya’, kita menempelkan label di Nama
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com

Comments

Popular posts from this blog

ZEN

Saddha * Ketidakkekalan dan Keyakinan

正见 * Usaha Benar * Pandangan Benar * 正精进